Latest News

Budaya konsumtif dan mental konsumtif

Jumat, 04 Desember 2009 , Posted by BARRIS Blog's at 09.50


Pernah jalan-jalan ke bandung??? Lima tahun terakhir yang berubah drastis adalah banyaknya mall kelas kakap yang terlahir, mulai dari Carrefour, hypermart, giant, BEC, BTM, Be Mall, Lucky Square, Paskal Square, dan banyak yang lainnya. Belum lagi pertumbuhan FO alias Factory Outlet yang semakin berjamuran, semakin mengentalkan image dan menjadikan ikon kota bandung sebagai KOTA BELANJA. Setiap sabtu dan minggu mobil berplat B banyak berkeliaran di seputaran bandung, untuk memenuhi kebutuhan hidup mulai makanan halal hingga tidak halal, dari yang tempat terang hingga yang remang-remang. Perputaran uang bisa pesat, perputaran barang demikian juga, hal ini meningkatkan konsumtivitas terhadap produk produk barang dan jasa yang ditawarkan. KOTA belanja sebenarnya bisa identik dengan budaya konsumtif yang semakin meningkat hari demi hari di masyarakat Bandung dan sekitarnya. Jangan heran, leasing alias agen kredit juga berkembang dengan pesat, lihatlah antrian di salah satu adira finance, salahsatu leasing yang terbesar, antrian yang bayar sampai ratusan orang bahkan bisa seribu lebih. Lembaga finance sepertinya menemukan lahan basah. Akibatnya Debt Collector menjadi profesi masih dan akan selalu prospek walau di masa krisis dan kritis sekarang ini.
Memang apa masalahnya?, kebiasaan melihat iklan, diskon, produk obral, cicilan bunga 0%, akan melahirkan keinginan terus menerus untuk membeli dan memiliki, bahkan memaksakan untuk membeli. Sehingga kebiasaan ini membentuk semangat mencari uang lebih untuk bisa berbelanja untuk memenuhi di luar kebutuhan pokok. Lebih gawat lagi kalau memiliki sesuatu bermerk menjadi ukuran status sosial. Perkembangan barang beserta teknologinya kerap menjadi obrolan sehari-hari. Kebiasaan ini bisa melahirkan budaya konsumtif, sekaligus membunuh budaya produktif.

Film indonesia bangkit, mulai dari AAC (ayat ayat cinta), Naga Bonar jadi 2, Laskar Pelangi, mampu menjadi magnet penarik besi yang ada dalam jiwa masyarakat indonesia, terkhusus di kota-kota besar. Masa premiere (pemutaran perdana) film film tersebut membludak, seakan embun itu akan menjawab kehausan-kehausan dari kejenuhan masalah-masalah yang membanjiri pelosok negeri ini. Jumlah penontonnya pun sangat menakjubkan lebih dari dua juta penonton, film AAC dan Laskar Pelangi mampu memecahkan rekor film-film masa jadul (jaman dulu) seperti trio warkop, cut nyak dien, dalam hal menarik penonton. Budaya konsumtif ternyata tidak hanya melanda barang-barang tetapi juga melanda dunia hiburan. Mebludaknya DVD bajakan, yang menawarkan film baru, juga tidak lepas dari budaya konsumtif terhadap hiburan, akibatnya dialog keseharian juga tidak laepas dari film apa yang baru, sudahnonton atau belum?. Sehingga pikirannya semakin terbiasa dan mungkin butuh diisi dari eksternal dirinya dengan hiburan-hiburan dan semakin jauhlah dari dunia nyata, maka memandulkan untuk berpikir kreatif produktif di alam nyata.

Buku apa yang banyak diserbu remaja?, tampaknya kalau sering standby atau melihat buku di toko buku bisa melihat perputaran novel-novel remaja, yang demikian cepatnya. Atau lihat deretan buku best seller isinya seputar percintaan, perselingkuhan dan solusi-solusi praktis tentang aspek kehidupan. Ini pun menunjukkan tingkat konsumtivitas melanda bacaan bacaan, akibatnya kaya pengetahuannya dengan pendapat orang , tetapi miskin dalam melahirkan pendapatnya sendiri.

Hal di atas hanyalah contoh, sebetulnya jauh lebih banyak budaya budaya konsumtif lagi kalu digali lagi.

Akankah bangsa ini menjadi bangsa pemakai produk kapan akan menjadi produsen, atau lebih senang menjadi penonton di pinggir lapangan ketimbang bergerak menjadi pemain, atau menjadi pengamat yang lebih senang di luar permasalahan memberikan comment ketimbang bergerak di dalam.

Ada asumsi, menulis adalah budaya produktif, membaca adalam budaya konsumtif. Tak bisa menulis kalau jarang membaca. Sikap konsumtif dalam membaca seharusnya bisa menjadi modal untuk membangkitkan produksi menulis. Dengan menulis menjadikan terbiasa melahirkan berbagai ide, gagasan, pendapat, menganggah, sehingga terbiasa dalam budaya berdiskusi dan berpikir alternatif. Tapi kalau melihat kembali trend yang ada, bacaan-bacaan easy going, seperti harian olahraga, infotainment, atau ulasan elektronik, justeru yang kerap membanjiri dunia bacaan masyarakat, yang secara langsung membanjiri alam pikirannya, lama kelamaan menjadi dunia pola pikirnya. Ini tidak lepas dari pola konsumtif dalam berbagai aspek melahirkan budaya konsumtif di berbagai aspek pula. Banyak bacaan yang dibaca hanya ending di pengetahuan, kurang bernilai bagi pemaknaan hidupnya.

Budaya konsumtif akan melahirkan generasi penonton dan pengamat, bukan generasi produktif. Budaya penonton, lihat di metro 10, indonesia memiliki rating 2 untuk masalah lamanya menonton TV. Dengan budaya seperti ini, bukan budaya sosok yang pelopor yang akan lahir, justeru sosok pengikut dari pembuat trend.

Budaya konsumtif membentuk karakter jiwa yang berkeinginan, tapi kurang membentuk karakter yang bercita-cita. Keinginan besar menjadi superman, tapi tidak ada upaya mencapainya. Manusia tanpa cita-cita sama dengan tidak ada.

Mengapa sosok Cokroaminoto, sang pelopor, sering juga disebut raksasa dalam dunia pemikiran dan raksasa dalam aplikasi pergerakan nasional, sulit lahir lagi di negeri ini? Tampaknya akan sulit lahir sosok ideologis kalau alam pembicaraannya hanya seputar hp, laptop, mobil, automotif. Dengan pikiran dipenuhi infotainment, sepakbola dan golongannya, hanya akan lahir generasi penonton dan pengamat.

Kenapa sulit mencari sosok yang mampu berkiprah besar seperti tokoh-tokoh sejarah, tampaknya ada yang berupaya memadamkannya dengan melahirkan budaya konsumtif.

Mengubah mindset konsumtif menjadi produktif menjadi awal yang bisa dilakukan supaya bisa berharap lahir generasi yang penuh harapan. Setuju??

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar